Oleh
: Muhammad Faishol*
Assalaf.id - Memasuki bulan
Februari, kita menyaksikan banyak media massa, mal-mal, pusat-pusat hiburan,
hotel melati hingga berbintang sedang bersibuk ria berlomba-lomba menarik para
remaja dengan menggelar pesta perayaan. Melakukan semua hal yang di anggap
“romantis”, mulai dari sekedar mengucapkan rasa sayang, berkirim kartu, memberi
bunga, sampai pada ‘kegiatan’ yang lain. Puncaknya, pada tanggal 14 Februari
yang biasa kita kenal dengan Valentine’s Day. Entah dari mana sumbernya hari
yang katanya sebagai simbol kasih sayang itu. Ibarat hadits, sanadnya
pun tidak jelas.
Terlepas dari
itu semua, sesungguhnya kita sudah di ajari romantisme yang benar-banar tulus
dari hati oleh kiai-kiai NU.
Misalnya, seperti
yang dicontohkan pendiri Nahdatul Ulama, Hadratusyeikh Mbah Hasyim Asy’ari.
Bagini ceritanya, pada suatu hari, Nyai Khoiriyah istri Hadratussyeikh KH
Hasyim Asy’ari tidak tahu apa sebabnya ngambek kepada sang kiai.
Tiba-tiba saja Nyai Khoiriyah mengambil sebuah stagen (korset tradisional
terbuat dari kain yang panjang) dan mengikatnya ke tubuh kiai Hasyim yang
sedang duduk di atas kursi.
Tanpa sepatah
kata pun Mbah Hasyim hanya senyum-senyum dan manut dengan perlakuan
istrinya itu. Hadratussyeikh tidak ingin membuat sang istri kecewa atau mungkin
agar kemarahan istrinya cepat reda. Selang beberapa menit, Nyai Khoiriyah
bertanya, “Apakah bapak selalu menyebut namaku di setiap doa bapak?”. Dengan
lembut Mbah Hasyim menjawab,” Tentu saja. Ibu adalah bagian dari hidupku. Jadi
tidak mungkin jika aku tak menyebut namamu di setiap doaku.”
Bagitulah
kira-kira jawaban Mbah Hasyim yang dikenal dengan segala kewibawaan nan keramat,
ternyata juga punya sisi romantis kepada istrinya.
Lain lagi dengan
kisah Gus Dur, Sinta Nuriya Dewi pernah bercerita tentang satu momen romantis
bersama Gus Dur semasa hidup. Pada suatu kesempatan, sekitar tahun 1970, Gus
Dur dan Sinta sedang pergi berdua menumpang becak sebagai salah satu pilihan
alat transportasi yang umum digunakan masyarakat kala itu. Di tengah perjalanan
ternyata hujan turun. Meski tidak terlalu deras, si pengemudi becak
berinisiatif menutup seluruh tempat penumpang dengan plastik layaknya fasilitas
yang dipunya becak pada umumnya. Bukan hanya bagian depan, sisi samping dan belakang
juga ditutup dengan plastik warna transparan.
Tiba-tiba, di
tengah jalan, Gus Dur mencium istrinya itu. Sontak, mendapati ciuman tersebut
ibu empat anak itu bereaksi. Kepada Gus Dur, Sinta mengingatkan, ada tukang
becak tepat di belakang yang mungkin saja masih bisa melihat. Apa jawab Gus Dur? “Biar saja, biar dia
kepingin,” ucapnya sambil tertawa.
Tidak hanya itu,
meski Gus Dur adalah cucu dari pendiri NU dan anak Mantan Menteri Agama,
ternyata di masa awal-awal pernikahan, semua dilaluinya dengan kehidupan yang
sangat sederhana dan serba pas-pasan. Tiap harinya Gus Dur memiliki pekerjaan
yakni memasukkan kacang ke dalam tiap kantung plastik, dan Sinta Nuriyah Dewi
istrinya bertugas menutupnya dengan menggerakkan bagian atas kantung dengan
lilin yang menyala. Setelah semua selesai dibungkus, dengan berbekal sepeda, Gus
Dur membonceng Sinta untuk mengantarkan semua bungkusan itu ke warung-warung
strategis di segenap kota. Sinta tidak pernah malu, menjalani dengan senang
hati semua itu, hingga beberapa tahun selanjutnya tanpa disangka bisa menemani
Gus Dur sampai menjadi Presiden Republik Indonesia.
Tidak heran jika
Sinta pernah mengatakan di salah satu program televisi nasional,”Gus Dur itu
sosok panutan yang berhasil membawa bahtera rumah tangga kebahagiaan.
Karenannya, menjadi istri Gus Dur dalam suasana apapun itu enak. Mau jadi
presiden, mau jadi Ketua PBNU, mau jadi orang biasa yang serba pas-pasan, tidak
ada bedanya. Saya sangat bangga menjadi istri Gus Dur,” ucapnya dengan menahan
air mata.
Bagi Anda wanita
sholihah mungkin bisa meniru kesabaran dan ketulusan cinta Sinta Nuriya Dewi
ini hingga mengantarkan lelaki yang Anda sayang di puncak karirnya.
Ada lagi cerita
romantis lainnya, tentu kita kenal sosok kiai kharismatik Wakil Rois Syuriah PWNU
Jawa Timur KH Marzuki Mustamar. Dibalik ketegasannya dalam menyampaikan
sesuatu, ternyata kiai yang lahir 22 September 1966 ini memiliki sisi
romantisnya sendiri.
Pada suatu
ketika, ada seorang tamu sowan ke Abah, panggilan akrab santri kepada Kiai Marzuki
Mustamar. “Kiai, gimana caranya agar anak-anak kita bisa pinter seperti putra
putri njenengan?,”ujarnya keheranan. Seperti diketahui, putra putri Kiai
Marzuki sering mewakili Indonesia di ajang Olimpiade Internasional, dan hal
yang membanggakan, selalu membawa pulang medali, mulai perunggu hingga emas.
Apa jawabnya
kiai berdarah Blitar ini? ”Buatlah istrimu selalu bahagia,” jawabnya.
Ya, tentu jawaban
itu bukan hanya kata-kata untuk menjawab pertanyaan dari jamaah. Menurut
penuturan salah satu santri Pondok Pesantren Sabilurrosyad Gasek Malang, Agung
Hadi Wijaya mengungkapkan umi dan abah itu kalau lagi di mobil pasti romantis.
Pernah suatu ketika sedang membicarakan awal mula mereka jatuh cinta satu
dengan yang lainya. Entah siapa yang mulai, Kiai Marzuki dan Umi Saidah saling meledek
kalau sebenarnya yang jatuh cinta pertama itu adalah umi’, sontak umi
membantahnya,”nggak, Abah dulu yang jatuh cinta,”. Mendengar itu, Kiai
Marzuki dengan senyumnya yang khas menjawab kembali,”Ya wis podo-podo senenge,
wis wis, neng buri ono santri loh (Ya sudah sama-sama cintanya. Sudah-sudah
dibelakang ada santri loh),” jawabnya sambil ketawa.
Bukan hanya itu,
ada lagi, ceritanya saat masih nyantri kepada KH Masduqi Mahfudz, Kiai Marzuki
muda saat itu sudah mendapat tugas untuk mengajar. Benih-benih cinta Kiai
Marzuki kepada seorang wanita berawal di kelas diniyah kepada salah salah satu
santrinya bernama ‘Umi’ Saidah. Ya, wanita yang saat ini menjadi istrinya.
Namun, benih
cinta itu ternyata tidak berjalan mulus. Sebagaimana santri pada umumnya,
jangankan untuk menyapa, ‘menoleh’ pun tidak berani.
Berjalan
beberapa bulan kemudian, tatkala ‘Umi’ Saidah sudah lulus kuliah, Kiai Marzuki
sempat was-was karena wanita yang dicintainya itu ‘boyong’ dari Pondok
Pesantren Nurul Huda Mergosono, pindah ke Pondok Langitan untuk menyelesaikan
hafalan Al Qur’annya.
Usut punya usut,
ternyata saat di Pondok Langitan ada dua orang gus, satu dari Malang, satunya
lagi dari Lamongan melamar ‘Umi’ Saidah. Mendengar berita tersebut, tidak mau
kalah, sontak Kiai Marzuki muda ditemani teman pondoknya Mas Mif lurah Pondok
Pesantren Mergosono kala itu berangkat malam-malam naik bus pergi ke Lamongan
untuk menemui orang tua dari ‘Umi’ Saidah, KH Ahmad Noer. Jam 10 malam sampai, langsung disambut suguhan
semangka sambil mengutarakan maksud kedatangannya. Karena ada tiga laki-laki
yang sudah melamar, KH Ahmad Noer waktu itu tidak langsung menjawab, tetapi ada
beberapa kiai yang ditanya dan dimintai pendapat untuk memutuskan. Di antara
yang ditanya adalah Keluarga Ndalem Langitan, KH Mas Nur Branjangan Sidoresmo, dan
Mbah Din Madiun. Dan ternyata, hasil dari istikhoroh kiai-kiai sepuh tersebut
semua sepakat menjawab Kiai Marzuki muda yang cocok. Hingga singkat cerita
dilangsungkanlah pernikahan di antara beliau berdua. Kisah yang tidak instan
layaknya anak-anak muda saat ini yang hatinya bisa diluluhkan hanya dengan
memberikan sekuntum bunga mawar.
Hal yang mungkin
bisa menjadi renungan bagi kita semua. Apakah kita sudah mencintai dengan cara
yang benar dan romantis sebagaimana yang telah di ajarkan oleh kiai-kiai kita?
*Muhammad
Faishol; Penulis adalah buruh di Gubuk Lentera Kota Malang.