Assalaf.id - Pertama, kita jarus memahami
kebatinan saudara kita yang memilih kata cepat untuk mengejar khusu’. Inti dari
sholat adalah khusu’, yaitu selalu menghadirkan hati kepada Rabb. Sholat harus
dijaga dari keterpusan konsentrasi, walaupun hanya satu detik. Maka, jeda
bacaan dalam sholat harus diminimalisir. Tidak boleh ada ruang kosong yang
memberi kesempatan syaithan untuk berbisik-bisik dengan hati kita. Intinya, batin manusia tidak boleh
diam dari dzikir, sehingga
konsentrasinya melayang-layang. Dari pola kebatinan ini, maka kata cepat
dipilih untuk mengejar konsentrasi (khusu’). Manusia akan lebih selamat
mendapatkan khusu’ selama 3-4 menit daripada mempertahankan konsentrasi selama
10 menit, bukan?
Jangan salah
paham, pola ini berangkat dari kerendahan hati, sulitnya untuk menjaga
konsentrasi (mempertahankan khusuk). Hal ini akan klop dengan pilihan kiai-kiai
kultural kita yang memilih membaca surah-surah yang populer dalam mengimami
sholat berjamaah, semisal Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas, hingga Al-Kautsar.
Kiai-kiai ini sedang mengejar khusu’ dalam sholat berjamaah. Bagaimana mungkin,
makmum yang merupakan masyarakat awam (bahkan buta huruf al-Qur’an) akan
mendapatkan khusu’, jika mereka tidak hafal dengan surah-surah yang dibaca
imam? Surat-surat yang tidak populer dengan makmum membuka ruang
ketidakkhusu’kan dalam sholat jamaah. Hati para makmum yang putus asa mengikuti
bacaan imam, telah memutus konsentrasi makmum, dan hakikatnya makmum berpotensi
terjebak pada pikiran kosong. Jika makmum gagal untuk mengingat Allah
(berdzikir) dalam kondisi ketidakhafalannya, maka dimungkinkan dia akan
memasuki ruang lamunan atau berdiam diri tanpa makna.
Walaupun,
kemudian ada yang su’udzan (mengeluh) dengan perilaku para kiai ini. Bahkan,
ada yang kemudian ‘melecehkan’ Al-Ikhlas dan membanding-bandingkan dengan
al-‘Adiyat hingga Al-Naba’.
Seharusnya, jika kita mafhum dengan Al-Adiyat yang tidak populer di kalangan
orang tua (masyarakat) kita dan paham tujuan para imam masjid kultural kita,
maka su’udzan itu akan berganti khusnudzan. Insya Allah, kiai-kiai kultural
kita pun menghafal al-Qur’an.
Kedua,
kita harus memahami bahwa gaya bacaan dan kebiasaan akan mempengaruhi tempo
(kecepatan) bacaan itu sendiri. Sholat ringan (cepat) mentradisi dalam
komunitas-komunitas yang mentradisikan dzikir berjamaah dalam berbagai
bentuknya seperti di Indonesia. Komunitas ini sering berkumpul, membaca
Al-Ikhlas 100 kali, Al-Fatihah 1000 kali, dan sebagainya. Bagi yang tidak
terbiasa (pemula), maka dia akan tertinggal jauh untuk mengejar jumlah bacaan
tersebut. Semisal, pemula yang baru menyelesaikan Al-Fatihah 600 kali, namun
jamaah lain telah selesai 1000 kali. Bukan semata kebiasaan melahirkan
kecepatan, namun teknik-teknik kekhusukan yang terbentuk dari kebiasaan jauh lebih
penting. Bagi komunitas yang tidak terbiasa membaca Al-Ikhlas 1000 kali, akan
sulit bertahan mencapai angka 1000. Bacaan itu membutuhkan konsentrasi dan
stamina. Hanya kebiasaan, yang menjadikan manusia bisa.
Kita
yang terbiasa berdzikir sirri seusai sholat, silahkan sesekali mencari jamaah
yang berdzikir jahr(keras) seusai sholat. Mereka yang terbiasa membaca tabih,
tahlil, takbir, dan tahlil dengan bersemangat dan konsentrasi (jahr) akan
memiliki progresivitas kecepatan bacaan. Kita yang terbiasa lirih, baru selesai
membaca tasbih di angka 20-an, para santri yang terbiasa bermujahadah dzikir,
telah selesai pada hitungan ke-33. Hal ini wajar, karena sikap diam (lirih)
adalah kondisi mental yang santai. Berbeda dengan jahr (keras) yang menunjukkan
sikap mental yang siaga, dan lebih banyak melibatkan banyak indera.
Lalu,
yang memilih lama terpana dengan kecepatan berdiri saudaranya yang menyukai
kata cepat. Rukuk, i’tidal, dan sujud pun lebih menakjubkan lagi kecepatannya.
Kemudian, sholat cepat disindir sebagai sholat yang keluar dari thuma’ninah.
Yang memilih lama, menyukai kata tenang dan santai untuk menandai thuma’ninah.
Tenang dan santai itu sebagai perwujudan perintah Kanjeng Nabi, hingga
persendian tulang kembali lurus kepada posisinya semula. Nah, disinilah problem
itu muncul. Berapakah lama durasi kita harus meluruskan punggung kita sewaktu
rukuk, meluruskan tubuh kita sewaktu i’tidal, dan meletakkan dahi dan hidung
kita sewaktu sujud? 10 detik, 5 detik atau bahkan cukup 1 detik? Tempo ini, tidak
pernah disinggung Kanjeng Nabi. Di
sisi lain, bacaan rukuk dan sujud, bukan termasuk rukun sholat.
Apakah lurusnya tulang-tulang 1-2 detik, bukan thuma’ninah?
- Arif Amani, wakil sekretaris bidang pengkaderan PC GP Ansor Kab. Karanganyar. Aktif di Ponpes al-Inshof Plesungan Gondangrejo Karanganyar, Jawa Tengah